PRINSIP KEADILAN DALAM IJĀRAH MUNTAHIYAH BI ATTAMLĪK (IMBT); KUH PERDATA VS FIKIH KLASIK

Maskur Rosyid

Keywords: IMBT, KUH Perdata, Ijārah, Fikih Klasik


Abstract


Akad IMBT maupun sewa beli pertama kali muncul untuk
menampung persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalan
keluar apabila pihak penjual menghadapi banyaknya permintaan
dari pembeli untuk membeli barangnya akan tetapi calon pembeli
belum mampu membayar harga barang yang dibeli secara tunai.
Pihak penjual bersedia menerima harga barang itu dicicil atau
diangsur oleh pembeli tetapi penjual memerlukan jaminan bahwa
barangnya sebelum harga dibayar lunas tidak akan dijual lagi oleh
si pembeli. Dengan dijadikannya penyewa, maka si pembeli
terancam pidana manakala ia sampai berani menggelapkan obyek
perjanjian. Keberadaan azas kebebasan berkontrak bagi para pihak
yang akan melakukan perjanjian memberikan inspirasi bagi para
pengusaha untuk mengembangkan bisnis dengan cara IMBT.
Mereka berpandangan bahwa kalau mereka hanya dengan
menggunakan jual beli semata maka barang dari pengusaha tidak
akan laku, ini disebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
rendah dan tidak memiliki banyak uang kontan.
Sementara itu, pengumpulan dua akad dalam satu akad tidak sama
dengan pengumpulan dua akad yang terjadi dalam sewa-beli. Akad
bai‘ yang dikumpulkan dengan akad ijarah atau hibah merupakan
dua akad yang berbeda dan dilaksanakan secara sendiri-sendiri
dalam waktu yang berbeda pula. Akad bai‘ merupakan akad pokok
sedangkan akad ijarah atau akad hibah merupakan akad tambahan
sebagai syarat (digantungkannya) akad pokok. Sedangkan dalam
sewa beli, akad ijārah dan bai‘ keduanya dicampur menjadi satu
kemudian dilaksanakan secara sekaligus dalam satu aktivitas
muamalah. Pembayaran yang dilakukakan selama masa angsuran
dapat berubah fungsi, tergantung dari kemampuan pembeli untuk
melunasi angsurannya. Jika pembeli tidak dapat melunasi
angsurannya, maka pembayaran tersebut berfungsi sebagai sewa,
tetapi jika mampu melunasinya, berfungsi sebagai pembayaran
88 │Jurnal ISLAMINOMIC Vol. V. No. 2, Agustus 2016
harga jual beli. Adanya karakter sewa beli seperti itu menjadikan
bentuk akad dalam sewa beli tidak jelas karena tidak termasuk
kategori bai’ maupun ijarah, dan tidak pula termasuk kategori akad
bersyarat yang dibolehkan. Dengan tidak jelasnya bentuk akad
tersebut, kiranya akad sewa beli dapat dikategorikan sebagai akad
yang mengandung ”garār”. Selain itu, akad sewa beli yang
seringkali disertai dengan klausul-klausul yang meniadakan hakhak pembeli atau yang mengeksploitir pembeli serta terjadinya
ketidakseimbangan kedudukan antara penjual dan pembeli. Dengan
adanya klausul seperti itu, maka sewa beli dapat dikategorikan
sebagai akad yang mengandung syarat yang dilarang oleh syara’ dan
bisa juga dikategorikan sebagai akad yang mengandung “gubn”.
Tulisan ini diketengahkan guna memperbandingkan kedua konsep
tersebut.

Most read articles by the same author(s)